CSS code 196501081990021001

"Marhaban yaa Ramadhan"... Selamat menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Semoga Allah SWT senantiasa memberkahi ibadah kita semua. Aamiin.
 

Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) Mahkamah Konstitusi
Jumat, 08 November 2013 | 14:43 WIB
print this page Cetak    Dibaca: 199598

Jakarta 8/11 - Pelantikan Pejabat Struktural dalam Lingkungan Mahkamah Konstitusi. Tampak Sekjen MK Dr. Janedjri M. Gaffar menyerahkan SK Pengangkatan M. Guntur Hamzah yang dilantik menjadi Kepala Pusat P4TIK Mahkamah Konstitusi. Foto Humas/Ganie.


Mahasiswa FH USU Kunjungi MK
Selasa, 12 November 2013 | 13:43 WIB
print this page Cetak    Dibaca: 199601
Jakarta 12/11 - Kunjungan Universitas Sumatera Utara (USU) Fakultas Hukum di Ruang Konferensi Pers Lt. 4 Gedung MK. Foto Humas/Ganie.

Cikal bakal pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia bermula pada 1945. Kala itu terjadi perdebatan antara Mohammad Yamin dengan Soepomo mengenai pentingnya sebuah lembaga yang disebut Balai Agung, yang melakukan tugas-tugas yang menilai sebuah produk undang-undang untuk diuji berdasarkan UUD.

“Perdebatan tersebut terjadi saat sidang BPUPKI, seiring munculnya gagasan untuk menilai sebuah produk UU untuk diuji,” jelas Guntur Hamzah, Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) Mahkamah Konstitusi (MK) kepada para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Sumatera Utara, Selasa (12/11) di Gedung MK.

Namun, kata Guntur, gagasan itu belum dapat dilaksanakan karena tidak ada kesepakatan antarafounding fathers bangsa Indonesia. Bertahun-tahun kemudian, pasca reformasi politik di Indonesia tahun 1998, dilakukan amandemen UUD 1945 pada 2001 dan 2002. Ketika itulah muncul kembali gagasan untuk membentuk Mahkamah Konstitusi di Indonesia.

Alhasil dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003 yang memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Seperti tercantum pada Pasal 24C UUD 1945 Ayat (1) yang menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU  terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Sedangkan Pasal 24C UUD 1945 Ayat (2) menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”

Guntur menjelaskan, pengertian MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, memiliki arti bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga satu-satunya di Indonesia yang menguji UU terhadap UUD.  Tugas ini biasa disebut dengan judicial review.

Berikutnya, kewenangan MK memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, pernah terjadi sengketa antara DPR, BPK dengan Pemerintah. Kemudian juga, MK berwenang memutus pembubaran partai politik.

“Meskipun kewenangan MK memutus pembubaran parpol, sampai hari ini belum pernah terjadi,” ucap Guntur yang didampingi moderator Mirza Nasution selaku dosen FH USU.

Selain itu, lanjut Guntur, MK berwenang  memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk di dalamnya pemilihan umum kepala daerah atau pemilukada. Terkait pemilukada inilah yang banyak sekali kasus sengketa pemilukada disidangkan di MK.

“Bahkan saking banyaknya kasus sengketa pemilukada disidangkan di MK, ada hakim yang tergelincir hingga mengganggu integritasnya. Padahal semestinya seorang Hakim Konstitusi adalah seorang negarawan yang memiliki integritas dan perilaku tak tercela,” urai Guntur.

Selanjutnya, yang menjadi kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dana atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan maupun tindak pidana lainnya. (Nano Tresna Arfana/mh)


 

Belajar Konstitusi RI, Mahasiswa Deakin University Australia berkunjung ke MK RI
Rabu, 20 November 2013 | 06:33 WIB
print this page Cetak    Dibaca: 199613
Mahasiswa Deakin University Australia berkunjung ke Mahkamah Konstitusi RI pada Selasa (19/11/), untuk menggali informasi seputar konstitusi di Indonesia. Foto Humas: Gani.

Sejumlah mahasiswa Deakin University Australia berkunjung ke Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) guna menggali informasi seputar konstitusi di Indonesia. Rombongan diterima Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) MK, Guntur Hamzah.

Para mahasiswa menanyakan bagaimana proses pemilihan hakim  konstitusi, dijelaskan oleh Guntur bahwa kesembilan hakim konstitusi berasal dari tiga lembaga negara yakni Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Kendati demikian, setiap hakim konstitusi tidak mewakili aspirasi dan kepentingan lembaga negara pengusul. Setiap hakim secara mandiri dan independen wajib membuat putusan-putusan yang sesuai koridor hukum.

Guntur menambahkan, lahirnya MK RI merupakan buah dari perjalanan reformasi  yang menuntut adanya lembaga negara khusus yang bertugas menangani kasus-kasus konstitusional. Seluruh hakim konstitusi terikat pada kode etik yang harus dipatuhi dan ditaati bersama.

Sekiranya ada seorang hakim konstitusi yang melanggar hukum dan kode etik, maka  ia dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim konstitusi. MK RI menganut tiga jenis hukuman pemberhentian bagi para hakim konstitusi yakni  pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat. Berat ringan hukuman tergantung pada berat ringannya pelanggaran.

Guntur menegaskan, setiap hakim konstitusi tidak dapat dipengaruhi pihak manapun dalam menghasilkan putusan. "Bahkan seorang presiden tidak dapat mengintervensi hakim konstitusi," pungkas Guntur Hamzah. (Julie/mh)




Delegasi HLSC FH Unhas Kunjungi MK
Rabu, 20 November 2013 | 16:27 WIB
print this page Cetak    Dibaca: 10542
Jakarta 20/11 - Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelola Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) MK Guntur Hamzah menerima Mahasiswa Hasanuddin Law Study Centre (HLSC) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar di Ruang Konferensi Pers Lt.4 Gedung MK. Foto Humas/Ganie.

Segenap mahasiswa yang tergabung dalam Hasanuddin Law Study Centre (HLSC) Fakultas Hukum (FH) Universitas Hasanuddin, Makassar berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (20/11) siang. Kedatangan mereka diterima oleh Guntur Hamzah, Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) MK.

 “MK melalui putusan-putusannya diharapkan dapat memenuhi harapan masyarakat tentang keadilan. Juga, MK selalu membuka diri kunjungan-kunjungan berbagai pihak ke MK, termasuk mahasiswa sebagai sharing informasi, pandangan, pemikiran dan sebagainya,” ucap Guntur Hamzah saat membuka pertemuan itu. 

Pada kesempatan itu Guntur menjelaskan latar belakang dibentuknya MK merupakan buah reformasi 1998 di Indonesia. Pasca reformasi, tepatnya pada 1999 dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebagai desakan dari mahasiswa dan masyarakat. Di antaranya, mengubah ketentuan tentang masa jabatan Presiden.

 “Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden diangkat untuk masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali, tidak ada batasnya dapat dipilih kembali. Namun setelah dilakukan amandemen UUD 1945, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi untuk dua kali masa jabatan,” jelas Guntur.

Amandemen atau perubahan UUD 1945 juga mengakomodir keinginan masyarakat untuk membentuk Mahkamah Konstitusi. Kemudian lahirlah Pasal 24C UUD 1945 Ayat (1) yang menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU  terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Sedangkan Pasal 24C UUD 1945 Ayat (2) menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”

Guntur menerangkan, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final memiliki arti bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga satu-satunya di Indonesia yang menguji UU terhadap UUD.  Tugas ini biasa disebut dengan judicial review.

Kewenangan MK berikutnya adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, pernah terjadi sengketa antara DPR, BPK dengan Pemerintah. Kemudian juga, MK berwenang memutus pembubaran partai politik.

 “Meskipun kewenangan MK memutus pembubaran parpol, sampai hari ini belum pernah terjadi,” ucap Guntur yang didampingi moderator Muh. Achsan selaku Koordinator Mahasiswa HLSC FH Unhas.

Selain itu, MK berwenang  memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk di dalamnya pemilihan umum kepala daerah atau pemilukada. Terkait pemilukada inilah yang banyak sekali kasus sengketa pemilukada disidangkan di MK.  Selanjutnya, yang menjadi kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dana atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan maupun tindak pidana lainnya. (Nano Tresna Arfana/mh)




Bimtek bagi Golkar, M. Guntur Hamzah Angkat Materi Independensi dan Imparsialitas Hakim
Sabtu, 07 Desember 2013 | 16:23 WIB
print this page Cetak    Dibaca: 10051
Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) Guntur Hamzah saat menyampaikan materi kepada peserta Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014, Sabtu (7/12) di Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi MK, Cisarua Bogor. Foto Humas/Hamdi Belo.

  

“Berbicara mengenai independensi dan imparsialitas lembaga peradilan sesungguhnya kita membicarakan dua aspek yaitu membicarakan independensi lembaga peradilan dan imparsialitas hakim, khususnya hakim konstitusi,” ujar M. Guntur Hamzah, Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) Mahkamah Konstitusi, dalam acara “Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 bagi Partai Golkar” pada Sabtu (7/12) pagi di Cisarua, Bogor.

Terkait hakim konstitusi, lanjut Guntur, MK saat ini melakukan upaya menjaga dan menegakkan kehormatan. “Hal inilah yang sedang kami lakukan adalah upaya MKRI untuk kembali menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim konstitusi setelah tertimpa ‘badai’ beberapa waktu lalu,” jelas Guntur.

Bicara independensi dan imparsialitas hakim, kata Guntur, bicara menyangkut interelasi antara tiga lembaga pemegang kekuasaan dalam sebuah negara yakni eksekutif, legislatif, yudikatif. Di luar semua itu, ungkap Guntur, selalu timbul pertanyaan dalam kaitannya dengan lembaga peradilan, khususnya hakim. Sejauhmana hakim dapat obyektif?

“Ini yang selalu menjadi pertanyaan klasik dan selalu muncul. Bahwa atas nama kebebasan hakim, kadangkala bisa disalahgunakan oleh hakim itu sendiri, sehingga hakim itu bertindak tidak obyektif yang disebabkan latar belakang sosial politik dan kehidupan hakim itu sendiri,” papar Guntur.

Dikatakan Guntur, untuk kondisi sekarang, sebuah negara tidak bisa menghindari tiga prinsip utama agar tetap dipandang sebagai negara modern. Kalau dulu orang mengatakan, untuk menjadi negara modern, cukup dengan menerapkan prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi.

“Namun untuk saat ini, tidak cukup. Negara juga harus menerapkan prinsip-prinsip good governance, sebagai norma yang mengikat pemerintah. Pengertian pemerintah di sini adalah dalam arti luas, bukan pemerintah dalam arti sempit. Pemerintah dalam arti luas mencakup lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, dalam pengertian state,” imbuh Guntur.

Good governance merupakan aturan hukum yang mengikat pemerintahan dan menjadi hak bagi warga. Dengan demikian, di satu sisi, prinsip-prinsip good governance merupakan kaidah, aturan bagi sebuah negara atau pemerintah. Di sisi lain, good governance menjadi hak bagi warga negara.  “Jadi kalau warga negara menuntut lembaga-lembaga negara untuk taat asas pada prinsip-prinsip good governance, itu tidak bisa dianggap berlebihan. Tetapi itu sudah menjadi suatu syarat yang tidak bisa lagi ditawar-tawar,”  jelas Guntur.

Good governance mencakup berbagai prinsip dasar, termasuk di dalamnya menyangkut independensi dan imparsialitas itu sendiri. Kenapa prinsip ini menjadi penting? Karena prinsip good governance ini harus diterapkan pada tiga lembaga pemegang kekuasaan itu, dalam ini lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. (Nano Tresna Arfana/mh)

 

 Bimtek bagi Demokrat: Penting, Penalaran dan Argumentasi Hukum dalam Berperkara di MK

Selasa, 17 Desember 2013 | 16:37 WIB
print this page Cetak    Dibaca: 110108
Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Guntur Hamzah saat memaparkan materinya kepada peserta Bimtek Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 bagi Partai Demokrat, Selasa (17/12) di Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua Bogor. Foto Humas/Agung Sumarna.

Makalah bertema “Penalaran dan Argumentasi Hukum” disampaikan Kepala P4TIK (Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi)  Mahkamah Konstitusi (MK), M. Guntur Hamzah, selaku narasumber “Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian PHPU Legislatif 2014” yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Partai Demokrat pada Selasa (17/12) di Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor.

“Kenapa tema Penalaran dan Argumentasi Hukum penting diangkat? Mengingat berperkara di MK tidak hanya cukup dengan berperkara secara konvensional. Namun dituntut juga kemampuan memberikan argumentasi yang baik, yang tercermin dari kemampuan logika dan kemampuan daya nalar. Sehingga argumentasi yang dibangun ketika berperkara di MK, khususnya perkara pengujian undang-undang sarat dengan kemampuan daya nalar kita,” papar M. Guntur Hamzah.

Dikatakan Guntur, logika mengantarkan seseorang untuk tiba pada kesimpulan, dari posisi tertentu ke posisi tertentu pula. Sedangkan daya nalar, dalam konteks ini adalah imajinasi, itu bisa membawa kemampuan seseorang menembus batas-batas norma dari yang tidak terlihat menjadi jelas.

“Dengan daya nalar, membawa pemikiran kita tembus kepada metakaidah. Bukan saja pada titik kaidah yang akan kita sampaikan, tetapi juga tiba pada metakaidah yang memayungi kaidah, bersifat abstrak tetapi menjadi konkrit ketika hal itu disampaikan dengan argumentasi yang tepat,” ucap Guntur.

“Dengan kata lain, daya nalar itu sesungguhnya lebih penting dari logika itu sendiri,” tambah Guntur kepada hadirin.  

Dalam bidang hukum, kata Guntur, mantan Hakim Agung Amerika Oliver W. Holmes mengatakan bahwa kehidupan hukum tidak hanya ditentukan pada logikanya saja. Tetapi kehidupan hukum juga ditentukan pada pengalaman. Pesan Oliver ini sangat penting dalam kaitannya berperkara di MK.

“Sebab, berperkara di MK tidak hanya dituntut untuk mengkonstatir fakta, tetapi juga kita dituntut untuk memahami putusan-putusan MK yang ada sebelumnya atau yang biasa disebut dengan istilah yurisprudensi. Dengan yurisprudensi menandakan bahwa hukum itu sudah jelas, positif.  Kaidah itu baru berupa janji, bahwa misalnya setiap caleg diperlakukan sama. Bagaimana janji itu sudah terpenuhi atau tidak,  itu akan kelihatan pada putusan hakim,” urai Guntur.

Lebih lanjut Guntur menjelaskan mengenai penalaran hukum yang memiliki beberapa makna, yakni sebagai metode berpikir dalam menerapkan hukum, cara berpikir dengan menggunakan logika hukum, serta sebagai kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multiaspek.

“Penalaran hukum juga diartikan sebagai hubungan antara pertimbangan dan kesimpulan, atau ketepatan dalam memberikan alasan, pertimbangan yang mendukung sebuah keputusan,” jelas Guntur.

Lalu mengapa soal penalaran hukum perlu dibahas? “Karena berkembang di masyarakat kita bahwa hukum itu memiliki logikanya sendiri. Misalnya, menganggap bahasa hukum berbeda dengan bahasa-bahasa lain. Ada kesan eksklusifisme bahasa hukum, meski sesungguhnya tidak demikian,” dalih Guntur.

“Karena menurut pakar hukum, Profesor Satjipto Rahardjo, hukum itu bekerja tidak dalam ruang yang hampa sosial. Bahasa-bahasa masyarakat juga bisa diadopsi, digunakan untuk menjadi bahasa hukum. Padahal hukum itu harus dibumikan,” tegas Guntur yang juga menjelaskan bahwa argumentasi hukum merupakan keterampilan ilmiah dalam rangka pemecahan masalah-masalah hukum. (Nano Tresna Arfana/mh)



 

"SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1436 H. MINAL AIDIN WAL FAIDZIN, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN"
M. Guntur Hamzah:

Dilantik sebagai Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi RI, pada hari Senin 3 September 2012 (SK Sekjen MKRI No. 84 Tahun 2012 tertanggal 31 Agustus 2012).

------------------------------
1. Memperoleh Penganugerahan Satyalancana Karya Satya X (10) tahun pada 17 Agustus 2009.
------------------------------
2. Mengikuti Pelatihan Student Centred Learning and Quality Assurance (SCL & QA) pada Universitas Leiden, Universitas Maastricht, dan Universitas Utrecht, Belanda, 2009.
------------------------------
3. Mengikuti Program Academic Recharging (PAR-B) pada Faculty of Law, Economic and Governance – Utrecht University, Belanda, 31 Oktober 2010 s/d 21 Januari 2011.
UNDANGAN:
Yth. Guru Besar dan Dosen Fakultas Hukum Unhas, diharapkan kehadirannya pada acara peresmian (launching) Program Studi S1 HAN pada Fakultas Hukum Unhas pada hari Senin, 3 September 2012, pk. 09.30, bertempat di Lantai III Fakultas Hukum Unhas - Tamalanrea, Makassar.
------------------------------
Peresmian (launching) program studi S1 HAN dirangkaikan dengan acara:
1. Presentasi Profil Program Studi S1 HAN pada hari Kamis 30 Agustus 2012, pk. 10.00, bertempat di Ruang Senat Unhas.
2. Lokakarya Kurikulum Program Studi S1 HAN pada hari Jumat-Sabtu, 31-1 Agustus 2012 di Ruang Promosi Lantai3 Fakultas Hukum Unhas.
JURNAL ILMU HUKUM TERAKREDITASI:
1. Masalah-Masalah Hukum, Undip
2. Jurnal Hukum (Ius Quia Iustum), UII
3. Jurnal Ilmu Hukum LITIGASI, Unpas
4. Jurnal Yustisia, UNS
5. Jurnal Media Hukum, UMY
6. Jurnal Asy-Syir'ah, UIN SKY
7. Jurnal Konstitusi, MKRI
8. Jurnal Dinamika Hukum, Unsoed
9. Jurnal Mimbar Hukum, UGM
10. Indonesia Law Review, UI
11. Jurnal Hukum Bisnis, YPHB
JAKARTA-Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Guntur Hamzah berpendapat, pengujian Pasal 5 ayat (1) huruf c UU No. 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, tidak terkait dengan persoalan konstitusionalitas norma. Sebab ada konflik/pertentangan norma, antara pasal tersebut dengan Penjelasan Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.
Persoalannya, terletak pada legalitas Penjelasan Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau,” kata Guntur dalam keterangannya sebagai ahli hukum pada sidang lanjutan pengujian UU Pembentukan Kabupaten Lingga di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (12/6). Penjelasan Pasal 3 UU Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menyebutkan, “Kabupaten Kepulauan Riau dalam UU ini, tidak termasuk Pulau Berhala".
 
Today, there have been 1 visitors (1 hits) on this page!
Copyright @ 2007 by M. Guntur Hamzah, Faculty of Law - Hasanuddin University, All rights reserved. This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free