CSS code 196501081990021001

"Marhaban yaa Ramadhan"... Selamat menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Semoga Allah SWT senantiasa memberkahi ibadah kita semua. Aamiin.
 

Home
My CV
Bahan
Kuliah

Nilai
Artikel
Prodi
S1 HAN

MKRI
Jurnal
Contact

 

 

  
Message:
Selama tidak ada keterbukaan, tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan. Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat "hakim" diadili saat ia sedang mengadili (Jeremy Bentham)


 



Harian Fajar, Selasa, 04 September 2012 | 18:56:19 WITA | 123 HITS

Pakar Hukum Administrasi Negara Unhas, Prof Dr Guntur Hamzah
Kasus Century Layak ke Tingkat Penyidikan 



UPAYA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan kasus Bank Century di tahun ini, terus mendapat batu sandungan. Sejak diserahkan oleh DPR RI beberapa bulan lalu, status perkara Century masih tetap dalam penyelidikan, meskipun sejumlah dokumen dan puluhan saksi telah diperiksa. Internal KPK juga diduga mendapat tekanan yang besar dari luar.     

Bagaimana sebaiknya KPK mengusut Century? Berikut wawancara wartawan FAJAR, Hasbi Zainuddin dengan ahli hukum administrasi Unhas, Prof Dr Guntur Hamzah di rumahnya, Minggu 2 September.

Kasus Century sudah cukup lama ditangani KPK, dan hingga sekarang masih dalam penyelidikan. Menurut Anda?

Hal yang terpenting menurut saya, Century jangan sampai mati di tangan KPK. Kasus ini sudah melalui rentang yang panjang, melalui pembahasan di DPR RI, hasil pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan memberi rekomendasi ke KPK untuk diselidiki. Prosedurnya sebetulnya sudah jalan, dan tidak ada masalah. 
    
Ada kesan, KPK cukup berat menyelesaikan kasus Century, karena permasalahan internal di tubuh lembaga Antikorupsi tersebut. Menurut Anda?

Masyarakat tentu tidak akan melihat masalah internal itu. Bagaimanapun juga, KPK tetap harus bisa menyelesaikan kasus Century. Terserah mau ditingkatkan ke tahap penyidikan, atau dengan tegas menyatakan tidak ada korupsi di century. Yang terpenting, keputusan itu memang atas dasar profesional adjustment, sesuai pertimbangan mereka secara profesional. 

Salah satu pimpinan KPK, Bambang Widjojanto sebelumnya dinyatakan tidak akan memberi penilaian dalam gelar perkara status Century. Itu menunjukkan beratnya pimpinan KPK mengambil keputusan terkait ini?

Memang ada kesan, KPK sulit menyelesaikan Century, karena salah satu pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, pernah menjadi Kuasa Hukum LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) yang mengambil alih aset Bank Century. 

Selain itu, Busyro Muqaddas juga punya beban psikologis karena utang budi dengan Partai Demokrat. Tapi bagi saya, itu adalah bagian dari dinamika organisasi. Kalau saya sendiri yakin, kasus Century bisa selesai. KPK terbukti menyelesaikan banyak kasus besar. Kasus MSG (Miranda Swaray Goeltom) terkait cek pelawat sebelumnya juga diragukan bisa diselesaikan KPK. Nyatanya, KPK membuktikan telah menahan MSG. Selain itu, saya kira KPK cukup mengumumkan kasus sesegera mungkin. Jika bisa secepatnya dinaikkan menjadi penyidikan, misalnya, kesan  masalah itu pasti bisa hilang.

Bagaimana sebaiknya KPK mengusut kasus Bank Century?

Menurut perspektif hukum administrasi, proses bailout dengan mengucurkan dana talangan Rp6,7 triliun yang dilakukan pemerintah kepada Bank Century, sebenarnya sudah sesuai prosedur. 

Dalam mengeluarkan kebijakan bailout, pemerintah mengambil langkah yang disebut diskresi. Diskresi itu tindakan yang memaksa pejabat mengambil kebijakan-kebijakan lebih khusus karena tuntutan keadaan, tapi tetap mempertimbangkan asas umum pemerintahan dan akuntabilitas. Prosedur itu sebenarnya sudah jalan. Untuk itu, seperti yang sering diberitakan, KPK harus fokus menelusuri pengelolaan keuangan Bank Century, sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan mengambil alih Bank itu. 

Seperti apa itu?

Misalnya, fakta tentang bangkrutnya Bank Century. Itu benar-benar bangkrut atau sengaja dibangkrutkan? atau, para nasabah yang memiliki banyak kredit di bank itu. Apakah memang benar-benar ada nasabahnya, atau fiktif? bailout itu seperti halnya asuransi. Mobil anda tiba-tiba ditabrak dan rusak, langsung diganti baru. 

Berbeda kasusnya jika Anda sengaja merusak mobil untuk diganti yang baru. Itu namanya korupsi. Nah, mengusut aliran dana bank Century penting, untuk menemukan indikasi, apakah tidak terjadi deal-deal, atau kesengajaan pejabat pemerintah membangkrutkan, supaya bisa mengambil kebijakan diskresi itu. 

Hasil audit BPK lalu telah menunjukkan, memang ada rekening fiktif, dan transaksi tidak wajar. Apa itu tidak cukup menaikkan statusnya menjadi penyidikan?

Kalau dilihat di media massa, alat-alat bukti seperti yang sering diberitakan itu, sebetulnya sudah cukup untuk menaikkan status century menjadi penyidikan. Bahkan, sudah punya tiga empat alat bukti saja sudah cukup. KPK sudah punya banyak dokumen dari DPR RI, hasil audt BPK, dan sudah memeriksa puluhan saksi. Seharusnya sudah tahap penyidikan.

Apa harapan Anda?

Seperti halnya masyarakat, kita ingin KPK memenuhi janjinya, untuk menyelesaikan Kasus Century untuk tahun ini. Masih ada waktu sekitar tiga bulan, dan kita harap dalam waktu dekat sudah ada peningkatan status. KPK harus punya profesional adjustment. Kalau memang tidak menemukan indikasi, ketua KPK harus tegas menyatakan, saya menganggap tidak ada korupsi, dan kasus ini dihentikan. Begitu juga sebaliknya. Asalkan, memang betul-betul itu lahir atas dasar profesional adjustment.(*/pap)




Harian Fajar, Sabtu, 25 Juni 2011 | 19:00:26 WITA | 1023 HITS
Saling Memahami, Gemar Wisata Kuliner





BERBEKAL komitmen yang ditulis pada secarik kertas, dibingkai dan digantung di kamar, pasangan rumah tangga Prof Dr M Guntur Hamzah, SH, MH, dan Dr Ria Mardiana Yusuf, SE, M.Si langgeng hingga puluhan tahun. Butir komitmen tersebut selalu menjadi patokan mereka dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Sejak memutuskan berumah tangga pada 1994, Guntur dan Ria selalu mengedepankan rasa saling percaya dan memahami kesibukan masing-masing. Guntur yang seorang guru besar di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin mempunyai jam terbang yang sangat tinggi, semetara Ria yang juga seorang dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin juga mempunyai segudang aktivitas. Tetapi kesibukan keduanya tidak serta merta membuat mereka melupakan kewajibanya di rumah tangga.

Menjalankan perannya sebagai seorang ayah dan seorang ibu, memberi nafkah sang buah hati serta mendidik kedua putra mereka tetap menjadi prioritas. Olehnya, sesibuk apa pun mereka, tetap menyempatkan waktu untuk berkumpul dan jalan bareng bersama keluarga.

"Biasanya setiap weekend kami wisata kuliner, mencari makanan yang enak-enak di Makassar. Hari yang tepat sih hari Minggu," ungkap Ria.

Di hari tersebut semua wajib mengosongkan waktu mereka masing-masing. Guntur dan Ria absen dengan tugas-tugas perkuliahan dan universitas sementara kedua putranya yang mulai beranjak remaja juga istrirahat dari tugas sekolah.

"Inilah yang kami pertahankan sejak dulu, semaksimal mungkin kami usahakan berkumpul bersama," tambahnya.

Kebersamaan yang selalu terjaga membuat keluarga akademisi ini harmonis. Riak pertengkaran yang mewarnai perjalanan rumah tangga menjadi bumbu pelengkap.

Ke depan Guntur dan Ria menginginkan anak-anaknya, M Taufik Anugerah Guntur Putera dan M Tauhid Yusham Guntur Putera dapat menjadi anak-anak yang berbakti dan berguna bagi bangsa dan negara. Ria dan Guntur tidak pernah menekan cita-cita anaknya, mereka membebaskan keduanya untuk memilih karir sesuai dengan yang diinginkan, asalkan positif. Saat ini bersama sang suami Ria mengaku sedang mengarahkan anak-anaknya, membimbing dan mengontrol perkembangan putra-putra kesayangannya.

"Susah merawat anak, apalagi anak laki-laki, tetapi sebagai orang tua kami wajib mengarahkan mereka. Kami membebaskan mereka mengembangkan kreasi masing-masing. Saya liat si bungsu menggemari dunia komputer dan teknologi sementara yang sulung senang berorganisasi. Kami mendukung saja, dengan segala peraturan yang tetap berlaku," tandas wanita kelahiran Bandung ini, ramah. (dya)





Mahkamah Konstitusi, Rabu 13 Juni 2012:
PEMBERIAN KETERANGAN AHLI DI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA PUU 31 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN LINGGA, PROVINSI KEPULAUAN RIAU




Foto: Prof. Guntur Hamzah memberikan keterangan ahli di Mahkamah Konstitusi

Assalamu Alaikum Wr wb... 
 
Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang mulia, 
Perkenankan saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perkenan dan kesempatan yang diberikan majelis hakim yang mulia kepada saya untuk mengemukakan pandangan pribadi saya terkait perkara pengujian UU 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Di Provinsi Kepulauan Riau. Mencermati duduk persoalan yang terkait dengan perkara pengujian undang-undang ini, tampak bahwa issu sesungguhnya adalah soal klaim terhadap “Pulau Berhala”. Pertanyaannya adalah pemerintah daerah mana yang otoritatif (subsidiis ius) menjalankan kewenangannya di Pulau Berhala. Apakah pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi ataukah Pemerintah Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau? Persoalan klaim terhadap Pulau Berhala ini akhirnya berujung pada Sengketa Pengujian Undang-Undang (PUU) di Mahkamah Konstitusi. Dalam perkara Pengujian Undang-Undang ini, pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (1) huruf c UU Nomor 31 Tahun 2003 yang berbunyi: “Kabupaten Lingga mempunyai batas wilayah, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Bangka dan Selat Berhala.” Penjelasan Pasal tersebut dinyatakan “cukup jelas”. Namun bagi Pemohon norma yang mencantumkan frasa “Selat Berhala” dalam pasal “a quo” dinilai tidak jelas? Menurut Pemohon, ketidakjelasan letak wilayah Selat Berhala ini menimbulkan tafsir berbeda dalam menentukan batas wilayah yang jelas antara Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau dengan Provinsi Jambi. Ketidakjelasan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf c UU Nomor 31 Tahun 2003 ini dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3); Pasal 18; Pasal 18 A; Pasal 28D ayat (1); dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dengan kata lain, apakah Pulau Berhala itu masuk wilayah administratif Kabupaten Lingga atau Kabupaten Tanjung Jabung Timur? 
 
Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang Mulia... 
Guna menilai konstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) huruf c UU Nomor 31 Tahun 2003 yang berdampak pada penyelesaian sengketa klaim batas wilayah terhadap Pulau Berhala ini, maka perkenankan saya melihatnya dari perspektif Hukum Administrasi Negara. Dari perspektif Hukum Administrasi Negara, persoalan klaim batas wilayah terhadap Pulau Berhala ini sesungguhnya adalah soal konflik kewenangan (certamen de auctoritate) antara dua daerah otonom –dalam hal ini—antara pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi dan Pemerintah Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau. Kewenangan berkaitan erat dengan wilayah berlakunya wewenang atau kewenangan pemerintah itu terikat oleh batas wilayahnya (government authority was bound to the boundary) Dalam kaitan ini, ada dua aspek yang perlu diperhatikan yakni aspek legalitas kewenangan (licuisse de auctoritate) dan aspek efektifitas pelaksanaan fungsi pemerintahan (efficaciam de auctoritate). Dilihat dari aspek legalitas kewenangan (licuisse de auctoritate), maka Pemerintah Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau memiliki kewenangan terhadap Pulau Berhala. Hal itu tercermin dari rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf c UU Nomor 31 Tahun 2003 bahwa Kabupaten Lingga mempunyai batas wilayah, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Bangka dan Selat Berhala. Dalam Peta, Pulau Berhala terletak di sebelah Utara atau bagian dalam Selat Berhala. Pernyataan ini tidak saja ditunjang dokumen resmi, tetapi juga secara historis, sosiologis, dan kondisi faktual. 
 
Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang Mulia... 
Membaca dan memahami UU 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Di Provinsi Kepulauan Riau –menurut hemat saya—sudah jelas (it’s clear). Kejelasan itu, tidak hanya jelas secara formal karena Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf c menyatakan “cukup jelas”, tetapi juga jelas secara substantif karena Pasal 5 ayat (1) yang mengatur tentang batas wilayah Kabupaten Lingga, kemudian diperjelas dan dipertegas pengaturannya dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, b, c, dan d UU Nomor 31 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa: “Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digambarkan dalam peta wilayah administrasi yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU ini”. Berdasarkan peta wilayah administrasi Provinsi Daerah Tingkat I Riau, sangat jelas tergambar bahwa Pulau Berhala termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Singkep, Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau. Sedangkan Desa Berhala terletak di Kecamatan Singkep Kabupaten Lingga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lingga (Perda) Nomor 2 Tahun 2006. Demikian pula penjelasan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dalam suratnya tertanggal 7 Desember 2011 yang menegaskan bahwa secara geografis Selat Berhala yang merupakan salah satu jalur pelayaran nasional terletak antara Pulau Berhala dan Pulau Sumatera. Dengan demikian, jika Selat Berhala terletak antara Pulau Sumatera dan Pulau Berhala, maka jelas Pulau Berhala termasuk bagian wilayah administrasi Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau karena letak Pulau Berhala berada pada bagian dalam atau sebelah Utara Selat Berhala, sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2003. Hal ini sejalan dengan pendapat Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, Desa Berhala masuk dalam wilayah Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau...dst. (Putusan MA Nomor 49/P/HUM/2011, hlm 57). Pendapat Mahkamah Agung ini sekaligus mematahkan hasrat pemohon untuk menjalankan kewenangan otoritatif di Pulau Berhala yang sebelumnya nyaris atau bahkan mendapat pengakuan dari Kementerian Dalam Negeri berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 44 Tahun 2011 tanggal 29 September 2011 tentang Wilayah Administrasi Pulau Berhala. Mahkamah Agung dalam amar putusannya tertanggal 9 Februari 2012 Nomor 49/ P/HUM/2011 dengan tegas menyatakan bahwa Permendagri 44 Tahun 2011 tentang Wilayah Administrasi Pulau Berhala bertentangan dengan UU 31 Tahun 2003, UU 12 Tahun 2011, UU 54 Tahun 1999, dan UU 25 Tahun 2002, sekaligus menegaskan bahwa Permendagri tersebut batal demi hukum (nieteg van rechtswege) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun pendapat pemohon pada halaman 9 paragraf 6 Permohonan PUU yang menyatakan bahwa sejak dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 49/P/HUM/2011 tentang Pembatalan Permendagri Nomor 44 Tahun 2011 mengakibatkan tidak adanya kejelasan dan kepastian hukum tentang status Pulau Berhala,...dst”. Menurut hemat kami, pandangan seperti ini keliru, bukan tidak jelas dan tidak memberikan kepastian hukum melainkan sebaliknya, putusan MA justeru memberikan kepastian hukum atas ketidakjelasan ketentuan atau norma dalam UU yang dijabarkan secara tidak bertaat asas dalam Permendagri Nomor 44 Tahun 2011 sebab sesuai asas hukum bahwa putusan hakim (terlebih lagi jika itu putusan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi) harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetuur). 
 
Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang Mulia... 
Apabila ditelusuri pokok persoalan terhadap sengketa PUU “a quo” sehingga –oleh pemohon dianggap—menimbulkan ketidakpastian hukum, maka persoalan sesungguhnya tidak terletak pada segi konstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Di Provinsi Kepulauan Riau terhadap UUD 1945 karena –menurut hemat kami—Pasal ini sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Persoalan sesungguhnya justru terletak pada legalitas Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau yang berbunyi bahwa “Kabupaten Kepulauan Riau dalam UU ini, tidak termasuk Pulau Berhala, ... dst”. Jika demikian adanya, maka persoalanya bukan pada soal konstitusionalitas atau inkonstitusionalitas Pasal “a quo” terhadap UUD 1945, tetapi yang terjadi adalah konflik norma antara dua UU yang saling bersinggungan (intersection), khususnya Pasal “a quo” dengan Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 25 Tahun 2002 yang memuat norma baru yang tampak tidak konsisten dengan batang tubuh Pasal 3 tersebut, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Apabila persoalan pokoknya adalah adanya konflik norma antara Pasal 5 ayat (1) huruf c UU 31 Tahun 2003 (khususnya mengenai batasan frasa “Selat Berhala”) dan Penjelasan Pasal 3 UU 25 Tahun 2002 (khususnya mengenai frasa “tidak termasuk Pulau Berhala”), sehingga menyebabkan seolah-olah kedua UU tersebut kontradiktif maka penyelesaian yuridisnya adalah: Pertama, mencermati bahwa konflik norma antara kedua UU “a quo” adalah konflik antara norma dalam Penjelasan UU dan norma yang terdapat dalam batang tubuh UU. Secara teoretis, meskipun penjelasan merupakan interpretasi resmi (otentik) dari pembuat peraturan perundang-undangan, namun pemberian penjelasan dalam sebuah peraturan perundang-undangan juga memiliki kaidah-kaidah penyusunan penjelasan yang baik, ada batas-batasnya, apa yang boleh dan yang tidak boleh dimuat dalam sebuah penjelasan. Dengan kata lain, penjelasan UU yang baik mestinya tidak memuat norma baru, tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh. Sebab jika terjadi pembentukan norma baru maka penjelasan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Penjelasan UU yang menimbulkan ketidakpastian hukum baik karena berisi norma baru dan memperluas atau mempersempit norma yang ada dalam batang tubuh –dalam beberapa kasus—telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi, seperti Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (Putusan MK Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009) dan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Putusan MK Nomor No. 79/PUU-IX/2011). Kedua, merujuk pandangan E. Utrecht (Pengantar Hukum Administrtasi Negara Indonesia, 1966) adalah benar bahwa sebuah ketetapan (beschikking) tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasarnya (regelingen). Konstruksi ini berlaku untuk penerbitan ketetapan (beschikking) terhadap peraturan (regeling), tetapi tidak berlaku untuk peraturan (UU) terhadap peraturan (UU). Dalam hal terjadi konflik norma antara UU yang mengatur hal yang sama sehingga menimbulkan kontradiksi maka berlaku asas preferensi hukum, dalam hal ini asas “lex posterior derogat legi priori”. Dalam kasus “a quo” tampak jelas bahwa Pasal 5 ayat (1) huruf c UU 31 Tahun 2003 mencakup Pulau Berhala sebagai bagian wilayah administratif Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau, sedangkan Penjelasan Pasal 3 UU 25 tahun 2002 mengecualikan atau tidak memasukkan Pulau Berhala sebagai bagian wilayah administratif Provinsi Kepulauan Riau sehingga kedua norma yang kontradiktif ini hendaknya diselesaikan dengan menerapkan asas penyelesaian konflik norma yaitu Undang-Undang yang baru mengenyampingkan Undang-Undang yang lama (lex posterior derogat legi priori). Dengan demikian maka norma atau frasa “tidak termasuk Pulau Berhala” sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 3 UU 25 tahun 2002 seharusnya kehilangan legalitasnya, bahkan dari perspektif Pasal 28D UUD 1945 maka penjelasan pasal tersebut bersifat inkonstitusional karena tidak memberikan kepastian hukum yang adil. 
 
Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang Mulia... 
Apabila persoalan klaim batas wilayah terhadap Pulau Berhala dilihat dari segi efektifitas pelaksanaan fungsi pemerintahan (efficaciam de auctoritate), maka juga dapat disimpulkan bahwa pemerintah Kabupaten Lingga dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau lebih aktif dan efektif dalam pelaksanaan fungsi pemerintahannya di wilayah Pulau Berhala. Meminjam pendekatan L.A. Geelhoed dalam bukunya yang berjudul “De Intervenierende Staat, 1983” menegaskan bahwa pemerintah yang efektif tentunya mampu melaksanakan fungsi pemerintahannya dalam empat hal, yaitu dalam hal membuat peraturan dan ketetapan (De regulende), dalam hal menyediakan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat (De presterende), dalam hal mengawasi dan menertibkan (De sturende), serta dalam hal mengadili dan menjatuhkan sanksi (De arbitrerende). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas pemerintah Kabupaten Lingga dan pemerintah Provinsi Kepulauan Riau lebih efektif dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahannya di Pulau Berhala. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator (sejarah, administrasi pemerintahan, aspirasi aparat pemerintah lokal dan masyarakat, serta fasilitas fisik), antara lain:
1.Masyarakat Kabupaten Lingga secara de facto telah mendiami Pulau Berhala sebagai wilayah administratif Kabupaten Lingga;
2.Sejak masa kesultanan Riouw tahun 1957, Pulau Berhala merupakan wilayah taklukan Sultan Lingga. Kemudian, pada masa menjelang akhir pemerintahan Hindia Belanda tahun 1922-1944, Pulau Berhala masuk Residentie Riouw dan tercantum gambarnya pada Peta Singkep tahun 1743 (Lihat Putusan MA No. 49/P/HUM/2011);
3.Sejak awal kemerdekaan, Pulau Berhala masih merupakan bagian wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau berdasarkan UU Nomor 61 Tahun 1958. 
4.Berbagai peta resmi menunjukkan letak geografis Pulau Berhala terletak pada sebelah Utara atau bagian dalam Selat Berhala; 
5.Surat pernyataan Kepala Desa Berhala kepada Presiden RI No. 045.2/140-BHU87 tertanggal 25 Oktober 2011 dan pernyataan sikap masyarakat Desa Berhala, Kabupaten Lingga tertanggal 19 November 2011; 
6.Penyelenggaraan administrasi pemerintahan, antara lain: a.Pelayanan administrasi pertanahan dan administrasi pemerintahan di Pulau Berhala dan pulau-pulau kecil di sekitarnya diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Lingga; Dalam kasus “Pulau Galang” sengketa antara Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya dalam memperebutkan Pulau Galang dimenangkan oleh Kabupaten Gresik karena BPN di Gresik telah menerbitkan sertifikat tanah di lokasi yang sekarang telah menjadi pulau (Peranan BPN dalam penetapan batas wilayah, Yogyakarta, 2009). b.Pencatatan buku nikah oleh Kantor Urusan Agama Desa Berhala Kabupaten Lingga; c.Penyelenggaraan pemilihan umum bagi warga penduduk Pulau Berhala berlangsung lancar dan tertib di bawah pelaksanaan dan pengawasan Panitia Pemilih Tingkat Kecamatan Dabo Singkep (PPS/PPK Singkep) d.Penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Lingga yang diikuti oleh masyarakat di Dusun Pulau Lalang dan Pulau Berhala; e.Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lingga Nomor 2 Tahun 2006. 
7.Pembangunan fasilitas umum oleh Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau, antara lain: a.Gerbang Selamat Datang yang dibangun pada tahun 2001 oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau. b.Gedung SD, Puskesmas Pembantu, Masjid, Dermaga Kayu, Jalan Semenisasi, Perumahan Masyarakat, Tangki Penampung Air, dan Pembangkit Tenaga Listrik; c.Pembangunan Kantor Kepala Desa Berhala melalui dana APBD Kabupaten Lingga; d.Pendirian Koperasi, pengadaan lahan, lapangan bola volley, sarana dan prasarana pariwisata, dan lain-lain. e.Petugas penjaga “mercusuar” di Pulau Berhala berasal dari navigasi Tanjung Pinang Provinsi Kepulauan Riau. Berdasarkan fakta di atas, maka jelas terlihat bahwa Pemerintah Kabupaten Lingga dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau lebih efektif melaksanakan fungsi pemerintahannya, yang tidak saja efektif dalam hal pengawasan dan pengendalian (effective government control), tetapi juga efektif dari segi penerbitan peraturan daerah (effective government regulation), efektif dari segi penyelesaian sengketa (effective government of dispute settlement), dan efektif dari segi penyelenggaraan pemerintahan (effective government execution). 
 
Kesimpulan: 
1. Pulau Berhala merupakan wilayah administratif Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau. Dengan demikian, pemerintah Kabupaten Lingga dan pemerintah Provinsi Kepulauan Riau memiliki kewenangan (rechtelijke en feitelijke bevoegdheid) dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan di Pulau Berhala; 
2. Pasal 5 ayat (1) huruf c UU 31 Tahun 2003 merupakan norma konstitusional, tidak bertentangan dengan UUD 1945, dengan demikian tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat; 
3. Frasa “Selat Berhala” seyogianya ditafsirkan “termasuk Pulau Berhala”.
4.Perlu dilakukan legislative review terhadap Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau dengan merevisi atau mencabut penjelasan pasal tersebut atau dengan menempuh judicial review ke Mahkamah Konstitusi. 
 
Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi yang Mulia... 
Demikian keterangan ahli ini kami buat sebagai masukan dalam penyelesaian perkara PUU 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga di Provinsi Kepulauan Riau pada Mahkamah Konstitusi ini. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan, saya haturkan banyak terima kasih.
 
Wassalamualaikum... 
Guntur, 
M. Guntur Hamzah
(Guru Besar HAN dan HTN Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
          
 

"SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1436 H. MINAL AIDIN WAL FAIDZIN, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN"
M. Guntur Hamzah:

Dilantik sebagai Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi RI, pada hari Senin 3 September 2012 (SK Sekjen MKRI No. 84 Tahun 2012 tertanggal 31 Agustus 2012).

------------------------------
1. Memperoleh Penganugerahan Satyalancana Karya Satya X (10) tahun pada 17 Agustus 2009.
------------------------------
2. Mengikuti Pelatihan Student Centred Learning and Quality Assurance (SCL & QA) pada Universitas Leiden, Universitas Maastricht, dan Universitas Utrecht, Belanda, 2009.
------------------------------
3. Mengikuti Program Academic Recharging (PAR-B) pada Faculty of Law, Economic and Governance – Utrecht University, Belanda, 31 Oktober 2010 s/d 21 Januari 2011.
UNDANGAN:
Yth. Guru Besar dan Dosen Fakultas Hukum Unhas, diharapkan kehadirannya pada acara peresmian (launching) Program Studi S1 HAN pada Fakultas Hukum Unhas pada hari Senin, 3 September 2012, pk. 09.30, bertempat di Lantai III Fakultas Hukum Unhas - Tamalanrea, Makassar.
------------------------------
Peresmian (launching) program studi S1 HAN dirangkaikan dengan acara:
1. Presentasi Profil Program Studi S1 HAN pada hari Kamis 30 Agustus 2012, pk. 10.00, bertempat di Ruang Senat Unhas.
2. Lokakarya Kurikulum Program Studi S1 HAN pada hari Jumat-Sabtu, 31-1 Agustus 2012 di Ruang Promosi Lantai3 Fakultas Hukum Unhas.
JURNAL ILMU HUKUM TERAKREDITASI:
1. Masalah-Masalah Hukum, Undip
2. Jurnal Hukum (Ius Quia Iustum), UII
3. Jurnal Ilmu Hukum LITIGASI, Unpas
4. Jurnal Yustisia, UNS
5. Jurnal Media Hukum, UMY
6. Jurnal Asy-Syir'ah, UIN SKY
7. Jurnal Konstitusi, MKRI
8. Jurnal Dinamika Hukum, Unsoed
9. Jurnal Mimbar Hukum, UGM
10. Indonesia Law Review, UI
11. Jurnal Hukum Bisnis, YPHB
JAKARTA-Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Guntur Hamzah berpendapat, pengujian Pasal 5 ayat (1) huruf c UU No. 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, tidak terkait dengan persoalan konstitusionalitas norma. Sebab ada konflik/pertentangan norma, antara pasal tersebut dengan Penjelasan Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.
Persoalannya, terletak pada legalitas Penjelasan Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau,” kata Guntur dalam keterangannya sebagai ahli hukum pada sidang lanjutan pengujian UU Pembentukan Kabupaten Lingga di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (12/6). Penjelasan Pasal 3 UU Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menyebutkan, “Kabupaten Kepulauan Riau dalam UU ini, tidak termasuk Pulau Berhala".
 
Today, there have been 1 visitors (1 hits) on this page!
Copyright @ 2007 by M. Guntur Hamzah, Faculty of Law - Hasanuddin University, All rights reserved. This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free